Suku
Bawean merupakan satu kelompok kecil masyarakat Melayu yang berasal
dari Pulau Bawean. Letak pulaunya berada di Laut Jawa antara dua pulau
besar, yaitu Pulau Kalimantan di utara dan Pulau Jawa di selatan. Pulau
Bawean terletak sekitar 80 mil ke arah utara Surabaya, dan masuk
kabupaten Gresik. Pulau ini terdiri atas dua kecamatan, yaitu kecamatan
Sangkapura dan kecamatan Tambak. Masyarakat Melayu Malaka dan Malaysia
lebih mengenal dengan sebutan Boyan dari pada Bawean. Dalam pandangan
mereka, Boyan berarti sopir dan tukang kebun karena profesi sebagian
masyarakat asal Bawean adalah bekerja di kebun atau sebagai sopir.
Sulit
untuk menentukan waktu yang tepat kedatangan orang-orang Bawean ke
Malaka karena tidak ada bukti, catatan resmi dan dokumentasi sejarah
mengenai kedatangannya. Tetapi terdapat berbagai pendapat mengenai
kedatangan mereka ke Malaka. Pendapat pertama mengatakan, bahwa ada
orang yang bernama Tok Ayar datang ke Malaka pada tahun 1819. Pendapat
yang kedua mengatakan bahwa orang Bawean datang pada tahun 1824,
kira-kira semasa penjajahan Inggris di Malaka. Pendapat yang ketiga
mengatakan orang Bawean sudah ada di Malaka sebelum tahun 1900 dan pada
tahun itu sudah banyak orang Bawean di Malaka.
Secara etimologi, kata Bawean berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti ada sinar matahari.
Menurut legenda, sekitar tahun 1350, sekelompok pelaut dari Kerajaan
Majapahit terjebak badai di Laut Jawa dan akhirnya terdampar di Pulau
Bawean pada saat matahari terbit. Kitab Negarakertagama menyebutkan
bahwa pulau ini bernama Buwun.
Mayoritas
masyarakat Bawean menganut agama Islam. Sementara yang menganut agama
non-Islam kebanyakan pendatang di pulau tersebut. Agama Islam masuk ke
Bawean awal abad ke-16, dibawa oleh Maulana Umar Mas'ud. Makamnya hingga
kini merupakan tujuan peziarah lokal maupun dari luar Bawean. Makam
Umar Mas'ud berada di wilayah Sangkapura yang terletak di pantai selatan
pulau tersebut. Sedang di pantai utara, tepatnya di desa Diponggo ada
kuburan seorang ulama wanita penyebar Islam di daerah itu, namanya
Waliyah Zainab, terletak di atas dataran tinggi.
Masyarakat
Bawean umumnya tinggal di kota atau daerah yang dekat dengan kota,
seperti di Kampung Mata Kuching, Klebang Besar, Limbongan, Tengkera dan
kawasan sekitar Rumah Sakit Umum Malaka. Orang-orang Bawean jarang
tinggal di kawasan-kawasan yang jauh dari kota. Jumlah orang Bawean yang
terdapat di Malaka diperkirakan tidak melebihi 100 ribu orang.
Sementara orang Bawean yang tinggal di luar pulau Bawean dan luar negeri
lebih dari 100 ribu orang.
Selain
di Malaka, orang Bawean juga tersebar di Lembah Klang, seperti di
kawasan Ampang, Gombak, Balakong dan juga Shah Alam. Mereka membeli
tanah dan membangun rumah secara berkelompok. Di Gelugor, Pulau Pinang
terdapat sekurang-kurangnya dua keluarga besar orang Bawean. Mereka
menggunakan bahasa Melayu dialek Pulau Pinang untuk bertutur dengan
orang bukan Bawean.
Anak-anak
mereka yang lahir di Malaysia telah menjadi warga negaraMalaysia.
Perantau-perantau yang datang dari tahun 90-an ada yang telah menerima
status penduduk tetap. Orang Bawean terkenal dengan keahlian membuat
bangunan dan rumah.
Penduduk
Bawean kebanyakan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau
petani. Hasil pertanian diantaranya padi, jagung, ubi dan sayur-sayuran.
Kelapa juga banyak ditemukan di sekeliling perkampungan mereka. Pulau
kediaman suku Bawean ini juga terkenal sebagai penghasil marmer, dan
para perempuan Bawean sangat terampil dengan kerajinan tangan unik dari
daun pandan. Selain itu juga masyarakat Bawean ada yang menjadi TKI di
Malaysia dan Singapura.
Suku
Bawean menggunakan bahasa Bawean dalam komunikasinya. Bahasa ini
memiliki kemiripan dengan bahasa Madura. Meskipun mirip, tapi adat dan
budaya mereka sangat berbeda. Orang Bawean juga tidak mau disebut
sebagai orang Madura karena perbedaan tersebut. Bahasa Bawean ditengarai
sebagai kreolisasi bahasa Madura karena kata-kata dasarnya yang berasal
dari bahasa ini.
Adapun
kebudayaan dan kesenian yang dimiliki suku Bawean, yaitu kercengan,
cukur cambul, pencak Bawean, dikker, dan mandiling. Kercengan biasanya
dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan. Masyarakat Madura menyebut nama
kercengan dengan Hadrah. Penari berbaris sebaris atau dua baris. Pemain
kompang dan penyanyi duduk di barisan belakang. Lagu-lagu yang
dimainkan adalah lagu-lagu salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pemain
kercengan terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Kedua
adalah cukur jambul merupakan acara bercukur jambul bagi bayi yang
telah genap usianya 40 hari. Adat ini sama seperti adat orang Melayu dan
Jawa. Bacaan berzanji bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan
dicukur kepalanya. Ada lagi pencak Bawean, yang sering ditampilkan dalam
acara hari besar seperti hari kemerdekan 17 Agustus maupun acara
perkawinan orang bawean. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah
dengan memainkan pedang yang panjang.
Selanjutnya
adalah Dikker, yaitu alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang. Adapun Mandiling adalah
sejenis tari-tarian disertai dengan pantun.
0 komentar:
Posting Komentar