Suku
Kayu Agung adalah suatu komunitas masyarakat adat yang berada di
kabupaten Ogan Komering Ilir yang beribukota Kayu Agung di Provinsi
Sumatera Selatan. Wilayah pemukiman suku Kayu Agung ini dilintasi oleh
sungai Komering. Dalam kesehariannya, suku Kayu Agung berbicara dalam
dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung dan bahasa Ogan.
Bahasa
Kayu Agung mirip dengan bahasa Melayu walaupun banyak terdapat
perbedaan. Suku Kayu Agung dalam lingkungan sesama orang Kayu Agung akan
berbicara dalam bahasa Kayu Agung. Bila berhubungan dengan orang Ogan,
maka mereka akan berbicara dalam bahasa Ogan yang diucapkan oleh suku
Ogan. Suku Ogan banyak bermukim di Kota Agung. Selain hidup berdampingan
dengan suku Ogan, Suku Kayu Agung bermukim di pemukiman mereka yang
terletak di suku Komering.
Istilah
kayu agung menjadi identitas suku Kayu Agung karena komunitas ini
adalah penghuni asli Kota Agung. Komunitas suku mereka pun disebut
sebagai suku Kayu Agung. Selain di kecamatan Kayu Agung, mereka juga
tersebar di beberapa desa di wilayah kecamatan Mesuji pada beberapa desa
seperti desa Sungai Sodong, desa Sungai Badak, desa Nipah Kuning dan
desa Pagar Dewa.
Secara
historis, suku Kayu Agung sebenarnya masih berkerabat dengan suku Ogan,
dengan kata lain berasal dari satu rumpun yang sama. Mayoritas suku
Kayu Agung beragama Islam, tetapi dalam praktek keseharian mereka,
banyak dari mereka yang tetap menjalankan tradisi kepercayaan lama,
seperti kepercayaan terhadap dunia roh. Mereka percaya kalau roh orang
mati bisa kembali dan mengganggu ketentraman mereka.
Oleh
karena itu, sebelum mayat dikubur harus dimandikan dengan bunga dari
bermacam-macam jenis agar roh dari orang yang mati lupa jalan pulang ke
rumahnya. Mereka juga percaya terhadap dukun yang membantu dalam upacara
pertanian, baik saat menanam maupun saat panen. Mereka juga memiliki
tempat keramat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh-roh.
Mata
pencaharian suku Kayu Agung adalah bertani, berdagang, dan membuat
gerabah dari tanah liat. Bentuk pertanian kebanyakan bersawah tahunan
karena daerahnya terdiri dari rawa-rawa. Jadi sawah hanya diolah saat
musim hujan. Tehnik pengolahan tanahnya pertama-tama mereka membersihkan
dan membabat rumput, setelah air sawah tinggal sedikit lalu padi
ditanam. Pekerjaan membersihkan rumput umumnya dilakukan laki-laki,
namun saat panen dikerjakan secara gotong royong oleh laki-laki dan
perempuan.
Garis
keturunan suku ini ditarik secara bilateral (dari ayah atau ibu).
Susunan kemasyarakatan sangat dipengaruhi adat Simbur Cahaya, yaitu
sistem kemasyarakatan berdasarkan undang-undang Kerajaan Sriwijaya dan
Kesultanan Palembang. Dalam lapisan sosialnya, masyarakat dibagi atas
tiga golongan, yaitu bangsawan, rakyat biasa, dan rakyat jelat. Tiap
warga masyarakat wajib bekerja bakti (gate atau mata gawe) untuk
kepentingan dusun, marga, dan istana.
Setiap
penduduk yang sudah bekerja, sudah kawin, dan memiliki rumah sendiri
harus memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap raja berupa pajak dan
wajib dinas. Keputusan-keputusan terhadap perkara-perkara adat diambil
dengan mengadakan rapat adat menurut tingkatannya, yaitu rapat dusun,
rapat kampung, rapat marga, rapat kecil, dan rapat besar.
Rapat
dusun dan rapat kampung dipimpin oleh pasirah atau depati. Rapat kecil
diadakan oleh beberapa marga yang terlibat dalam satu masalah. Rapat
besar ditangani oleh tumenggung atau rangga. Adat istiadat suku ini
meliputi banyak upacara tradisional, mulai dari adat kelahiran,
meminang, perkawinan, khitanan, sampai dengan adat kematian. Bentuk
kesenian khas daerah terdiri dari tarian adat, permainan gurdah, rebana,
kasidah.
0 komentar:
Posting Komentar