TEMBANG-TEMBANG MERDU, RIBUAN BAIT SYAIR LAHIR DARI KESENIAN DIDONG
Pada
ujung utara rangkaian Bukit Barisan di Pulau Sumatera, terletak dataran
tinggi Gayo yang merupakan tempat orang Gayo bermukim. Di tempat ini
mereka terbagi dalam beberapa kelompok yang disebut dengan orang Gayo
Lut, orang Gayo Deret, orang Gayo Lues dan sebagainya. Dari orang Gayo
ini muncul kesenian yang dikenal dengan nama kesenian saman. Salah satu
kesenian rakyat lainnya adalah Didong, suatu bentuk kesenian yang luwes
menyesuaikan diri dengan jaman dan lingkungan.
Sejak
kapan kesenian Didong ini dikenal, hingga kini belum diketahui dengan
pasti, demikian pula arti kata Didong yang sesungguhnya. Ada orang yang
berpendapat bahwa kata "didong" mendekati pengertian kata "dendang" yang
artinya" nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau
bersama-sama dengan bunyi-bunyian". Dalam bahasa Gayo dikenal dengan
kata "denang" atau "donang" yang artinya mirip dengan hal tersebut.
Menurut
legenda Gajah Putih yang dikenal di Gayo atau di Aceh pada umumnya,
dikatakan untuk membangkitkan gajah yang enggan bangun dari
pembaringannya dilakukan dengan cara berdendang yaitu dengan Didong.
Akhirnya Didong menjadi sarana untuk menyalurkan perasaan, pikiran,
keinginan dari seseorang kepada pihak lain dalam bentuk kesenian.
Kesenian
Didong terwujud dari perpaduan beberapa unsur seni yaitu seni sastra,
seni suara dan seni tari. Kesenian ini dapat berjalan searah dengan
kebutuhan jaman. Pada suatu periode di masa lalu sering diselenggarakan
pertandingan Didong yang berlangsung dengan nyanyian berteka-teki. Tema
dari nyanyian teka-teki tersebut sesuai dengan keperluan, misalnya dalam
upacara perkawinan, upacara mendirikan rumah, upacara makan bersama
setelah panen dan sebagainya.
Grup
kesenian didong biasanya terdiri dari para "Ceh" dan anggota lainnya
yang disebut dengan "Penunung". Ceh adalah orang yang dituntut memiliki
bakat yang komplit dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu
menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi, yang tentunya harus
mempunyai suara bagus. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan
karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang berbeda.
Pagelaran
Didong ditandai dengan penampilan dua grup pada suatu arena
pertandingan. Setiap grup biasanya terdiri dari kurang lebih 30 orang.
Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi
dengan tenda. Selama semalam suntuk grup yang bertanding akan saling
mendendangkan teka teki dan menjawabnya secara bergiliran. Benar atau
tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada.
Penampilan
Didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke, Indonesia. Sikap
pemerintah Jepang yang keras telah pemporak-porandakan bentuk kesenian
Didong. Dalam keadaan demikian syair-syair Didong berubah menjadi kesan
bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Setelah proklamasi
kemerdekaan kesenian Didong mulai berfungsi lagi. Didong mengobarkan
semangat kegotong-royongan. Didong dapat digunakan untuk mencari dana
pembangunan gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan
jembatan. Dengan demikian Didong menjadi sarana ampuh untuk pembangunan
fisik.
Dalam
tahun-tahun pergolakan DI/TU sekitar periode akhir tahun 1950-an
kesenian Didong terhenti karena saat itu kesenian Didong dilarang oleh
DI/TU. Masyarakat Gayo tidak dapat dipisahkan dengan kesenian didong,
maka lalu muncul permainan Saer yaitu suatu permainan yang sifat
penampilannya hampir sama dengan Didong. Perbedaan Didong dengan Saer
hanya dalam unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur
penting dalam Didong, tidak dibenarkan dalam Saer.
Ternyata
teknologi modern juga ikut mempengaruhi perkem-bangan kesenian Didong.
Muncul pengeras suara membuat kesenian Didong banyak dipergunakan oleh
orang-orang yang mengadakan pesta. Kemudian munculnya kasset membuat
para seniman dari berbagai grup bermain-main memasarkan diri lewat
kasset. Akhirnya pesta perkawinan tidak lagi mengundang seniman Didong,
tetapi cukup mempergunakan pengeras suara dan radio kasset. Akibatnya
kesenian Didong pun lesu kembali.
Pihak
pemerintah juga pernah menggalakkan Didongbanan yaitu Didong wanita.
Pada mulanya memang menarik perhatian, tetapi hambatan utamanya adalah
perubahan status dari gadis-gadis pemain Didong. Bila telah menikah
sulit diharapkan untuk melanjutkan kegiatannya dalam seni Didong ini.
Oleh karena itu hanya Didong yang dimainkan oleh pria yang hambatannya
agak kecil, seperti telah hidup secara tradisional dari masa ke masa.
Fungsi Didong
Didong
mempunyai fungsi yang majemuk dan selalu mengalami perkembangan sesuai
dengan perkembangan masyarakat Gayo sendiri. Didong dapat berfungsi
sebagai alat kontrol sosial, penerangan, pendidikan, hiburan, memelihara
nilai dan norma adat dan juga penyaluran ketegangan sosial.
Sebagai
alat kontrol sosial disampaikan melalui kritik-kritik yang biasanya
ditujukan kepada lawan bertanding. Kritik umumnya mengenai kelemahan,
kepincangan dan sebagainya yang terjadi dalam masyarakat. Di samping itu
Didong juga sangat efektif dipergunakan sebagai alat penerangan,
misalnya melalui puisi Didong dapat dijelaskan Pancasila kepada
masyarakat pedesaan, yang umumnya tingkat pendidikan mereka masih
rendah.
Sejak
awal hingga sekarang fungsi Didong sebagai hiburan tidak pernah
tergeser. Didong bagi seniman merupakan sarana untuk menyalurkan karya
seni yang indah; dan bagi anggota masyarakat Didong dapat mereka nikmati
sebagai karya seni yang dapat mengisi kebutuhan akan hiburan yang
menimbulkan rasa indah.
Pada
masa lalu Didong diadakan sehubungan dengan upacara-upacara perkawinan
dan pesta-pesta lainnya. Pada Ceh dalam pertandingan Didong memilih tema
karangannya berkisar pada masalah yang sesuai dengan upacara yang
diselenggarakan. Pada upacara perkawinan akan disampaikan teka-teki yang
berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian berarti seorang
Ceh harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan,
disamping seorang Ceh harus selalu berusaha mencari bentuk-bentuk karya
yang baru dan lebih indah. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat
tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan
dicari kembali oleh para penyair untuk keperluan kesenian Didong.
Di
tanah Gayo seperti halnya di daerah-daerah lain terdapat
kelompok-kelompok yang satu dengan yang lainnya bersaing atau kurang
serasi atau berbeda pendapat. Hal ini dapat terjadi misalnya pada
perkawinan satu kelompok keluarga dengan kelompok lainnya, karena
sesuatu hal dapat terjadi ketegangan sosial, bahkan tidak sedikit yang
berakhir dengan ketegangan fisik. Kesenian Didong dapat menjadi sarana
untuk menetralisir ketegangan tadi dan terjalin keseimbangan antara
kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Selain
itu yang telah terbukti, Didong dapat dipergunakan sebagai sarana untuk
mengumpulkan dana. Misalnya terjadi pada masa awal kemerdekaan. Didong
dapat dipergunakan untuk mencari dana pembangunan sekolah, mesjid,
madrasah, bahkan untuk pembangunan jembatan.
Berbicara
mengenai pelestarian kesenian ini tentu tidak dapat dilepaskan dari
tokoh-tokoh yang berjasa dalam pengembangan dan pelestarian kesenian
Didong. Beberapa nama yang dianggap berjasa antara lain: Ceh Tjuh Ucak,
kemudian ada nama Muhammad Basir Lakkiki yang menguasai perihal
lagu-lagu, juga Abd. Rauf, Ecek Bahim, Sali Gobal dan Daman. Nama-nama
yang juga tidak mungkin dilupakan adalah Idris Sidang Temas, Sebi, Utih
Srasah, Beik, Tabrani, Genincis, S. Kilang, Ibrahim Kadir, Mahlil,
Bantacut, Dasa, Ceh Ucak, Suwt, Talep, Aman Cut, Abu Kasim, Syeh Midin,
M. Din, Abubakar, Ishak Ali dan lain-lainnya.
Tanpa
tokoh-tokoh tersebut dapat diperkirakan bahwa kesenian Didong dalam
perjalanannya berkembang lambat bahkan mungkin terhenti. Kalau hal itu
terjadi, daerah Gayo akan menjadi sunyi dari tembang-tembang merdu,
beribu-ribu bait puisi mungkin tidak akan lahir.
Dalam
kesenian Didong sesungguhnya tersimpan suatu daya yang dapat mendorong
timbulnya dinamika. Berupaya mencari sesuatu yang menyebabkan timbul
sikap kritis dan memacu kreativitas tinggi, sehingga lahir karya-karya
seni yang indah dan bermutu tinggi.
Gayo
hanyalah salah satu dari ratusan identitas suku di Indonesia. Kita
wajib mengenali satu persatu. Keseluruhannya merupakan satu identitas
bangsa yang besar. Kita boleh berbangga akan keluhuran nilai-nilai
budaya bangsa kita.
0 komentar:
Posting Komentar