GAPURA/CANDI BAJANG RATU SALAH SATU PENINGGALAM KERAJAAN MAJAPAHIT.
Gapura Bajang Ratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten. Mojokerto, Provinsi Jawa Timur,
dengan arah hadap ke timur laut dan berada pada ketinggian ± 41,49
meter di atas permukaan air laut. Deskripsi Bangunan Gapura Bajang Ratu
merupakan bangunan pintu gerbang berbentuk ‘pradakursa’
yaitu gapura berupa pintu gerbang dengan atap yang menyatu (memiliki
atap). Bahan utamanya adalah batu bata, kecuali lantai tangga serta
ambang pintu (bawah dan atas) gapura yang dibuat dari batu andesit.
Denah bangunan berbentuk persegi empat,
berukuran 11,20 x 6,7 meter, dengan tinggi 16, 10 meter, mempunyai
lorong masuk keluar dengan lebar 1,40 meter. Secara keseluruhan, Gapura
Bajang Ratu terdiri dari bagian induk dengan struktur kaki, tubuh dan
atap. Selain itu, Gapura Bajang Ratu mempunyai sayap dan pagar tembok di
kedua sisinya yang bagian-bagiannya dihiasi relief-relief. Pada
sudut-sudut kaki gapura masing-masing terdapat panel-panel yang pada
bagian depannya dihiasi dengan relief fragmen cerita Sri Tanjung
(keadaannya sudah nampak aus dan ada juga yang sengaja dirusak). Hiasan
pada panel pertama (secara samar-samar) berupa dua orang berdiri
dikelilingi oleh sulur-sulur diduga merupakan penggambaran seorang pria
dan wanita (Sidapaksa dan Sri Tanjung.)
Panel kedua terdapat penggambaran ikan
yang pada bagian atasnya terdapat hiasan menyerupai bonggol rumput di
tengah riak air. Ada yang beranggapan relief tersebut adalah hewan
kalajengking yang berkaki enam dengan sengatnya (namun, penelusuran Tim
Wacana Nusantara akan mitologi Hindu khususnya, hewan kalajengking tidak
terdapat dalam mitologi Hindu). Pada panel ketiga digambarkan seorang
wanita mengendarai ikan yang dipahatkan serupa dengan relief sebelumnya
(panel kedua). Relief pada panel keempat menggambarkan seorang wanita
dengan posisi menoleh ke belakang, sumber yang kami dapatkan memberikan
penjelasan bahwa pahatan pada relief ini adalah bagian dimana Sri
Tanjung setelah sampai ke alam baka.
Pada sayap gapura terdapat penampil
berhiaskan relief fragmen Ramayana, menggambarkan dua orang yang sedang
berkelahi. Salah seorang di antaranya menderita kekalahan badannya
diinjak oleh musuhnya yang berbentuk seekor kera. Pihak yang kalah
berbadan besar dan berkepala raksasa. Bingkai di kiri-kanan pintu masuk
berdiri pahatan berupa binatang bertelinga panjang dengan ekor berbentuk
sulur gulung naik ke atas. Sulur gulung ini pun tidak selesai di pahat.
Sebagian besar bingkai masih polos atau diberi goresan rancangan. Di
atas lantai dipahatkan sepasang umpak dengan dua buah lubang bekas
engsel pintu yang daun pintunya membuka ke dalam.
Penampil-penampil gapura dihias dengan
pelipit bawah, pelipit tengah dan pelipit atas masing-masing diukir
dengan rangkaian bunga atau hiasan belah ketupat panjang, ada beberapa
pelipit yang belum rampung ukirannya. Bagian atap banyak dihiasi dengan
pahatan-pahatan kecil sehingga nampak indah dan unik, setiap dua lapis
atap diselingi oleh deretan menara yang pejal dan bersambung dengan
tingkat atap berikutnya. Hiasan menara ini berjumlah tiga tingkat. Dua
lapisan atap yang terbawah tidak berhias atau mungkin telah rusak. Dua
lapis ke dua masing-masing berhiaskan: § Kepala kala di tengah dengan
sepasang taring yang panjang yang mirip dengan sepasang duri seperti
pipi kala Candi Jago. § Relief matahari memancarkan sinar.
Sisi kiri maupun sisi kanan kepala kala
diapit oleh dua ekor binatang yang berdiri berhadapan, tetapi mempunyai
sebuah kepala saja berupa kala. Relief serupa ini kita dapatkan pula
pada Candi Jago. Sistem pahatan berupa binatang atau makhluk lainnya
yang digambarkan berhadapan ke arah pusat. - Relief Matahari Memancarkan
Sinar. Matahari ini merupakan perubahan bentuk dari kepala kala. Pada
lapis atau ketiga berhiaskan relief kepala atau mungkin kepala garuda
yang dipahat miring. Relief ini terdapat di bagian tengah maupun
sudut-sudut atas. Kepala-kepala kala yang di tengah diapit oleh sepasang
binatang seperti motif yang terdapat pada Candi Panataran.
Dua lapis atas keempat berhiaskan bentuk
menyerupai siput yang bulat, baik di tengah maupun di sudut atap.
Hiasan pada tingkat atap di bawah puncak atap berupa hiasan geometris
dan kelopak bunga, sedangkan puncak atap sendiri diberi hiasan seperti
bonggol. Bajang Ratu dalam Sejarah Bajang Ratu diperkirakan dibangun
sekitar abad ke-13 s/d abad ke-14 Masehi. Nama Bajang Ratu pertama kali
terdapat dalam Oudheidkundig Versalag (OV) tahun 1915, yang menyebutkan
bahwa bangunan tersebut telah diperbaiki dengan penguatan pada bagian
sudut dengan cara mengisi spesi dari campuran PC dan pasir halus pada
nat-nat yang renggang. Jauh sebelum itu, masyarakat sekitar Trowulan
telah menyebutnya demikian.
Bajang berarti kecil/kerdil, sama halnya
dengan kata Pabajangan yang berarti kuburan anak kecil. Menurut tutur
penduduk setempat, Gapura Bajang Ratu merupakan bangunan yang dibangun
untuk mengenang Jayanegara sebagai Putera Mahkota Majapahit yang semasa
dalam kandungan beliau sudah dinobatkan menjadi Kumaraja (Raja Muda).
Pendapat lain menyebutkan bahwa Gapura Bajang Ratu dibangun untuk
mengenang seorang putera mahkota Majapahit yang semasa dalam kandungan
sudah menjadi Raja (ditetapkan menjadi Raja Pengganti) akan tetapi bayi
mahkota tersebut kemudian meninggal saat dilahirkan dan gagal menjadi
Raja (Ratu). Dalam Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat pada
tahun 1328 M.
Teks itu berbunyi: “sira dhinarmeng
Kapopongan, bhisekering cranggapura, pratistaning antawulan.” Kata
cranggapura dalam Pararaton diperkirakan sama dengan Cri Ranggapura
dalam Nagarakertagama, sedangan Antarwulan (Trowulan) sama dengan
Antarisasi. Dengan demikian, Atas dasar ini maka dapat dikatakan bahwa
dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias
Cranggapura atau Cri Ranggapura. Pratistanya (bangunan suci) berada di
Antarwulan/Antarisasi atau Trowulan.
Jayanegara (Kalagement) adalah Raja
Majapahit yang memerintah antara tahun 1309-1328 M. Ia adalah anak dari
Kertarajasa dengan Dyah Sri Tribhuwaneswari. Di dalam Prasasti Taharu
yang berangka tahun 1245 Caka (1323 M), Jayanegara disebtukan dengan
nama gelas Cri Sundara Pandyadewadhiswara. Pada waktu ayahnya masih
memerintah yakni pada tahun 1218 S (1296 M), ia sudah dinobatkan sebagai
Raja Muda (Kumararaja) dengan nama Abhiseka Sri Jayanegara. Hal ini
mungkin ada hubungannya dengan nama Bajang Ratu, yaitu dinobatkan
tatkala masih “bajang” sehingga jelas menjadi Ratu (Raja) sewaktu masih
‘bajang’ atau Ratu Bajang dan atau Bajang Ratu menjadi sebutan yang
melekat padanya.
Dapat disimpulkan berkenaan dengan
uraian di atas, fungsi Gapura Bajang Ratu diduga sebagai pintu masuk ke
sebuah bangunan suci (memperingati wafatnya Jayanegara) yang dalam
Negarakretagama disebutkan kembali ke dunia Wisnu. Dugaan tersebut
mengarah kepada relief Fragmen Sri Tanjung dan relief fragmen Ramayana
yang mempunyai rangkaian arti sebagai lambang pelepasan/kematian.
Pemugaran dan Pendayagunaan Gapura Bajang Ratu telah dipugar sejak
1985/1986 sampai dengan 1991/1992. Pemugarannya merupakan bagian dari
kegiatan besar proyek pemugaran/pemeliharaan bekas ibukota Majapahit di
Trowulan.
0 komentar:
Posting Komentar