Berbicara
adat dan budaya Sulawesi Utara, kita tidak mungkin bisa dengan
membicarakan satu suku sebagai perwakilan dari empat suku penduduk asli
Sulawesi Utara. Keempat suku penduduk asli tersebut adalah; Suku bangsa
Minahasa, Gorontalo, Sangir Talaud, dan Mongondow. Ke empat suku bangsa
ini memiliki adat istiadat tersendiri, meski dalam beberapa hal
terdapat kesamaannya. Begitu pun ketika kita membicarakan pakaian adat.
Tulisan ini akan mencoba memaparkan pakaian adat dari ke empat suku
bangsa tersebut.
Sistematika
tulisan ini, baiknya kita kategorikan pakaian adat dan perhiasan
menurut fungsi dan kegunaannya saja, yakni; pakaian sehari-hari, pakaian
upacara, dan pakaian upacara perkawinan. Agar kita mudah melihat ragam
pembeda yang menjadi khas pada masing-masing daerah dan menemukan
kesamaann di antara kekhasan tersebut. Karena jika kita membahas satu
persatu dari keempat suku bangsa terebut, artikel ini tidak mungkin
mampu menampung kekayaan makna yang terkandung dalam pakaian adat
masyarakat Sulawesi Utara secara menyeluruh. Apalagi dengan hitungan
populasi (BPS, 2010) jumlah penduduk 2.265.937 jiwa, dengan kepadatan
147,5/km², dan persentase suku bangsa asli Minahasa (30%), Sangir (19,8%), Mongondow (11,3%), Gorontalo (7,4%), dan keturunan Tionghoa (3%), kita akan benar-benar butuh ratusan halaman dan obserfasi lapangan.
Baiklah
langsung saja kita bicara soal pakaian sehari-hari dari keempat suku
bangsa penduduk asli Sulawesi Utara. Dalam masyarakat Gorontalo, pakaian
sehari-hari mereka berbahan mentah dari kapas atau biasa disebut molinggolo dipintal menjadi benang, dan ditenun alias mohewo. Polapakaian
perempuan berbentuk kebaya dan tidak bermotif dan laki-laki kemeja
lengan pendek. Sedangkan kain sarung dipakai oleh keduanya dan bermotif.
Pakaian
sehari-hari masyarakat Bolaang Mangondow pada jaman dulu dibuat dari
kulit kayu dan serta nenas yang direndam air beberapa hari ini kemudian
dipukul-pukul dan seratnya dibuka. Serat itu diebut lanut yang kemudian ditenun dan menjadi lembaran kain. Tapi hari ini kain yang terbuat dari serat lanut sudah
tidak ditemukan lagi, karena masyarakat Bolaang Mangondow telah
menggunakan pakaian berbahan katun (kapas) sebagai pakaian sehari-hari
mereka.
Seperti
halnya masyarakat Bolaang Mangondow, suku bangsa Minahasa pada jaman
dahulu telah menguasai pengetahuan dan keterampilan membuat kain dengan
memanfaatkan kulit kayu dan dari sisanya yang bisa disebut manilahenep. Akan
tetapi sekarang sudah tidak ditemukan lagi pakaian dari hasil kerajinan
tangan tersebut. Hanya ada sejenis pakaian laki-laki yang bernama bajang di
beberapa tempat. Namun pakai adat sehari-hari itu telah menggunakn kain
hasil produksi pabrik yang bisa dibeli di toko-toko kain.
Semenetara pakaian sehari-hari tradisional masyarakat Sangihe dan Talaud, yakni pakaian yang terbuat dari kain kofo dan dapat dikatakan kini sudah tidak ada lagi.
Pakaian upacara masyarakat Gorontalo berfungsi untuk melihat status sesorang dalam upacara adat. Para pemangku adat atau bate-bate mengenakan sandang dengan pola dan motif yang berwarna; berbentuk kemeja kurung, celana pendek sebetis kaki (batik) yang biasa disebut talola bate. Sementara Jubah putih atau sandaria dipakai
oleh pemimpin agama. Dan jas hitam, celana hitam adalah pakaian pejabat
keamaan. Apabila kepala-kepala desa memakai kemeja batik bentuk baju
kurung, celana putih pakai sarung dan ikan kepala alias payungu, menandakan bahwa mereka siap menjalankan perintah (mahiya pada waumatihimanga motubuhe tahilio lo ito Eya)
Dalam
upacara adat, suku bangsa Bolaang Mangondow memakai pakaian adat yang
terbuat dari bahan mentah kain katun dan tetoron. Untuk pakaian
laki-laki bisanya disebut baniang. Sementara untuk perempuan disebut salu, untuk dibuat jadi kebaya, sarung, dan selendang. Dalam upacara adat, laki-laki memakai destar semacam kain atau atau lenso yang diikat di kepala. Juga pomerus atau kain pelekat yang diikat pada pinggang. Sementara wanita memakai baju salu dengan pelengkap kain pelekat senket. Pada bagian dada dihiasi emas yang disebut hamunse.
Di
Minahasa, pakaian upacara bagi laki-laki adalah jas (sepasang), dan
atau cukup dengan memakai kemeja dengan pelengkap dasi. Bagi kaum
perempuan pakaian mereka tidak lain berupa sarung kebaya atau yapon.
Bagi
masyarakat Sangihe Talaud, seperangkat pakaian upacara yang biasa
dikenakan terdiri dari baju panjang, ikat pinggang dan ikat kepala,
dengan warna-warna dominan merah, hitam dan biru. Bentuk model pakaian
tersebut hampir tidak terbedakan antara untuk laki-laki dan pempuan.
Bentuknya menyerupai baju alian juhan yang disebut “laku tepu”, pembeda diantara pakai laki-laki dan perempuan hanya panjangnya, bagi laki-laki hanya samapai pertengahan betis.
Mari
kita kembali pada masyarakat Gorontalo. Dalam upacara perkawinan, suku
bangsa Gorontalo memiliki pakaian adat uapacara perkawinan yang
dinamakan urasipungu yang terdiri dari; kebaya pengantin
perempuan terbuat dari kain saten dan diberi hiasan perak sepuhan.
Sementara pengantin laki-laki mengenakan pakaian semacam kemeja kurung
dari bahan yang sama dengan pengantin perempuan yang disebut kimunu. Kedua mempelai juga memakai kain sarung yang terbuat dari satin. Selain itu pelengkap berikutnya dalah Paluala yang berfungsi sebagai penutup kepala pengantin wanita yang terbuat dari kain satin dengan hiasan sunting atau biliu yang terbuat dari perak. Hiasan lainnya adalah kecubu, kain beludru dengan hiasan perak yang digantungkan pada leher pengantin wanita.
Dalam upacara perkawinan suku Bolaang Mangondow, pengantin wanita memakai sunting; semacam hiasan sanggul yang bahannya terdiri dari emas. Di dahi pengantin memakai hiasan yang disebut logis yang terbuat dari benang hitam.
Kita
langsung saja pada pakaian adat Sangihe Talaud yang secara umum,
pakaian upacara perkawinan mereka hampir sama dengan upacar-upacara adat
lainnya seperti perayaan hari raya “Mohobing Datu”, penasbihan tuknag besi, hari-hari istimewa dan para penari.
Awalnya,
Propinsi Sulawesi Utara adalah empat wilayah administrasi yang terbagi
berdasarkan empat wilayah suku bangsa yangtelah kita urai di atas.
Namunkekinian, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah,
Gorontalo dibentuk Propinsi sebagai pemekaran dari Propinsi Sulawesi
Utara melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Maka wilayah Propinsi
Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab.
Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow.
Pada
Tahun 2003 Propinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan
1 Kota lagi dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu
Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon
serta Kabupaten Kepulauan Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4
lagi Kabupaten/Kota yakni Kab. Minahasa Tenggara, Kab. Bolmong Utara,
Kab. Sitaro dan Kota Kotamobagu. Namun sejatinya, suku bangsa asli
masyarakat Sulawesi Selatan adalah empat suku bangsa di atas yang
budaya dan adat istiadatnya patut kita perhatikan kelestariannya sebelum
benar-benar dimusiumkan.
0 komentar:
Posting Komentar