Provinsi
Jambi memiliki keberanekaragaman budaya termasuk salah satunya
macam-macam suku. Salah satu suku di Jambi yang banyak dikenal oleh
masyarakat Indonesia adalah suku adat Anak dalam. Suku Anak Dalam di
provinsi Jambi memiliki sebutan nama untuk mereka yaitu Kubu, suku Anak
Dalam dan anak Rimba. Untuk sebutan kubu bagi suku Anak Dalam memiliki
arti yang negatif. Kubu memiliki arti menjijikan, kotor dan bodoh.
Panggilan kubu bagi suku anak dalam pertama kali terdapat di
tulisan-tulisan pejabat kolonial. Sebutan suku Anak Dalam merupakan
sebutan yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen
Sosial. Arti suku Anak Dalam memiliki arti orang yang bermukim di
pedalaman dan terbelakang. Sebutan yang ketiga adalah Anak Rimba
merupakan sebutan yang lahir dari suku Anak Dalam sendiri. Arti Anak
Rimba adalah orang yang hidup dan mengembangkan kebudayaan tidak
terlepas dari hutan, tempat tinggal mereka. Istilah orang Rimba
dipublikasikan oleh seorang peneliti Muntholib Soetomo melalui
disertasinya berjudul “Orang Rimbo: Kajian Struktural Fungsional
masyarakat terasing di Makekal, provinsi Jambi”.
Sejarah Asal Usul Suku Anak Dalam
Ada
banyak sumber yang menjelaskan tentang asal usul sejarah suku Anak
Dalam diantaranya sumber dari Muchlas (1975) yang menelusuri asal usul
Anak Dalam. Muchlas menyatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari
sejumlah cerita/atau hikayat yang dituturkan secara lisan dan berkembang
di provinsi Jambi. Beberapa cerita/hikayat itu adalah Cerita Buah
Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam,
Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita
Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang
Orang Kubu. Kesimpulan Muchlas dari cerita/hikayat tersebut adalah Anak
Dalam berasal dari tiga keturunan yaitu:
- Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
- Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
- Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
Lebih
jauh Muchlas mengatakan bahwa asal usul Anak Dalam berasal dari cerita
tentang perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, pihak
pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden
Perang. Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya
maka terkenallah Anak-Dalam dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang
tak mau menyerah pada penjajah Belanda yang membawa penyakit jauh
senjata api. Orang Belanda disebut Orang Kayo Putih sebagai lawan Raja
Jambi (Orang Kayo Hitam).
Beberapa
sumber lain yang membahas mengenai sejarah asal usul Anak Dalam yaitu
disertasi Muntholib Soetomo yang memaparkan bahwa ada seorang yang
gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah
gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah
gelumpang itu dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi
keajaiban, yang berubah menjadi seorang putri yang cantik. Putri itu
mengajak kimpoi Bujang Perantau, namun Bujang Perantau berkata bahwa
tidak ada orang yang mengawinkan mereka. Putri tersebut berkata: “Potonglah
sebatang kayu bayur dan kupas kulitnya kemudian lintangkan di sungai,
kamu berjalan dari pakal saya dari ujung. Kalau kita dapat beradu kening
di atas kayu tersebut berarti kita sudah kawin”. Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya, kemudian keduanya menjadi suami isteri.
Dari
hasil perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi,
Dewo Tunggal, Putri Gading, Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang
Malapangi, anak tertua yang bertindak sebagai pangkal waris dan Putri
Selaro Pinang masak sebagai anak bungsu atau disebut juga ujung waris
keluar dari hutan untuk pergi membuat kampung dan masuk Islam. Keduanya
menjadi orang Terang. Putri Selaras Pinang Masak menetap di Seregam
Tembesi sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung pertama di sekitar
sungai Makekal pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di
Cempedak Emas, ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan
kampong terakhir di Tanah Garo sekarang.
Hal
inilah membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi
sebagai Jenang (orang yang dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh
orang lain, selain orang Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi
orang Rimbo yang akan berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang
akan berhubungan dengan orang Rimba). Jenang yang paling berpengaruh
dijadikan rajo (raja), dan segala urusan antara orang Rimba dengan orang
luar harus melibatkan Jenang mereka dan raja-nya.
Selain
itu berdasarkan Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56,
secara mitologi, suku Anak Dalam masih menganggap satu keturunan dengan
Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut
pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa
sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal
di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak
waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa
penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah
tidak diketahui lagi yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan
penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda.
Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan
sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim
di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang,
keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman
yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris.
Menurut
Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan
asal usul Suku Anak Dalam yaitu: Sejak Tasun 1624, Kesultanan Palembang
dan Kerajaan Jambi yang sebenarnya masih satu rumpun memang terus
menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada
tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok
masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan
adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas
(Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh
ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan
pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi
berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka
tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito).
Wilayah dan Populasi Suku Anak Dalam
Suku
anak dalam memiliki wilayah hidup yang cukup luas di Sumatera. Mulai
dari Palembang hingga Riau dan Jambi. Namun, memang paling banyak
terdapat di daerah Jambi. Berdasarkan hasil survei Kelompok Konservasi
Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang
Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian
dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu
Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun.
Hingga
tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba.
Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa
sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan
hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu. Selain di TNBD, kelompok-
kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi
terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000
orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat
(lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir,
Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten
Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir,
Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok
lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena
tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki
sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat. Daerah yang didiami
oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara
lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai
Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado. Nama-nama
daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada di
dekat permukiman mereka.
0 komentar:
Posting Komentar