Pulau-pulau kecil antara Sulawesi dan Filipina didiami oleh kelompok masyarakat yang bernama Suku Sangir (Sangihe) Talaud.
Tokoh
masyarakat Sangihe Talaud menuturkan bahwa suku Sangihe Talaud dulunya
merupakan beberapa kelompok pendatang yang menjadi satu suku yang
bernama Sangihe Talaud. Suku-suku pendatang tersebut ialah Apapuang
yang konon ceritanya berasal dari Bangsa Negrito, Saranggani, Mindanao
Selatan, daratan Merano, Mindanao Tengah, Kepulauan Sulu (sebagian
kecil adalah raksasa), dan yang terakhir Kedatuan Bowentehu dan Manado
Tua, di mana ras ini berasal dari Molibagu (Bolangitam).
Suku
Sangir Talaud telah telah ada ribuan tahun Sebelum Masehi. Mereka
hidup dan bertahan di pulau-pulau antara Sulawesi dan Filipina. Sebuah
kajian antropologi kebudayaan menjelaskan bahwa orang Sangihe Talaud
merupakan manusia berbahasa Melanesia. Pada 40.000 tahun SM merek
bermigrasi dari Asia. Pada tahun sekitar 3000 tahun SM bermigrasi pula
dari Formosa yang berbahasa Austronesia ke Sangihe Talaud.
Penemuan
terbaru yang lebih mengejutkan yang berhasil mematahkan terori
linguistik di atas, adalah adanya kemungkinan nenek moyang seluruh klan
di Indonesia berasal dari Nias-Mentawai, dengan ciri gen dari masa yang
lebih tua sebelum migrasi Formosa.
Folklor yang beredar di masyarakat mengenai nenek moyang Sangihe Talaud ialah seperti seperti pengakuan adanya para Pendatang (Homo sapiens)
atau dalam bahasa setempat disebut sebagai Ampuang (manusia biasa).
Selain Ampuang, ada dua jenis manusia lain yang telah ada di sana dari
masa sebelumnya, yaitu Ansuang (raksasa) dan Apapuhang (manusia kerdil).
Dua jenis manusia itu, belum bisa dibuktikan secara ilmiah, karena
mereka masih terbatas pada kepercayaan dengan adanya beberapa artefak
bekas kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan.
Sejumlah
legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia
Sangihe Talaud. Dari kepercayaan turun-temurun. Pulau-pulau Sangihe
Talaud konon tercipta dari air mata seorang bidadari. Dari bidadari
inilah manusia Sangihe dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu berasal
dari kata Sangi (tagis). Di pulau-pulaud Talaud, penyebutan Porodisa
untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan dimana manusia Talaud
adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang berasal
dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistic justru
merupakan mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso
(surga). Kata Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata
Melayu: tangis.
Protomalayans.blogspot.com
melansir bahwa mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari
telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah
pisang secara mistis menjadi manusia. Kepercayaan terhadap dewa dewi dan
system nilai budaya orang Sangihe Talaud ini menujukan adanya
persinggung dengan system nilai di tempat lain seperti teori
keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori Fun She dan Esho Funi
dalam pemahaman Hindu kuno. Kepercayaan “Manna” atau kepercayaan
terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang mempengaruhi peri
kehidupan manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain
akibat mutasi dari pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula
dengan budaya ritual persembahan kurban yang mengunakan symbol darah
Manusia yang di pukul sampai mati.
Manusia
Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta
alam semesta dan manusia yang di sebut “Doeata, Ruata”, juga dinamakan
”Ghenggona”. Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung (Roh penguasa
laut), dan Empung (roh penguasa daratan). Dewa-dewi ini berhadirat di
gunung dan lembah-lembah, di laut, di sehamparan karang. Di cerocok dan
tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahya, bahkan bisikan bayu. Di
segala tempat, ruang, dan suasana. Kendati begitu, eksplorasi yang lebih
ilmiah terhadap asal usul manusia Sangihe Talaud, yang telah ada saat
ini baru sebatas dari masa abad ke 14. Bermula pada periode Migrasi
Kerajaan Bowontehu 1399-1500. Disusul periode Kerajaan Manado 1500-1678.
Dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari 1425-1951.
Gumansalangi
(Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan Tabukan atau Tampunglawo,
yang bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa (Sangiang Killa),
istrinya, adalah anak dari Humansandulage bersama istrinya Tendensehiwu,
yang mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu, Desember
1399. Mereka melakukan pelayaran dari Molibagu melalui Pulau Ruang,
Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanau-Filipina),
kemudian balik ke pulau Sangir – Kauhis dan mendaki gunung
Sahendarumang, dimana mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan
Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan, yang pada periode
kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Sementara
Bulango bermigrasi dari Bowontehu pada 1570 menuju Tagulandang dimana
anaknya bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang di pulau
itu bersama para pengikutnya.
Adapun
salah satu ritual suku ini ialah bahwa setiap tahun secara rutin
melakukan upacara ritual sebagai bentuk syukur kepada sang pencipta yang
telah menganugerahkan isi semesta alam. Salah seorang totok budaya adat
Sangihe Talaud Brury Lahinda (63), seperti dilansir liranews.com,
mengisahkan sekitar abad 17, nenek moyang dari suku Sangihe Talaud
percaya dengan arwah di mana ada roh halus (Kabanasa) untuk menjadi
sahabat, bahkan pelindung.
Sesajen
yang berupa makanan, benda berharga, hewan dan manusia, secara rutin
dalam setiap pergantian tahun pada tengah malam wajib diberikan untuk
menjaga dampak akan terjadinya bencana alam dan wabah penyakit melalui
upacara Tulude, dengan membacakan mantra "Bawera" tuturnya. Masuknya
agama kepercayaa kepada Tuhan yang Maha Esa membuat ritual tidak lagi
menggunakan sesajen berbentuk manusia.
0 komentar:
Posting Komentar